Rumah Adat Walewangko

Rumah adat Walewangko atau rumah pewaris nama lainnya merupakan bangunan tempat tinggal Suku Minahasa, Sulawesi Utara.

Desain bangunan rumah adat Sulawesi Utara ini memang khas karena masyarakat Minahasa zaman dulu membuatnya tidak sembarangan.

Suku Minahasa sangat memperhatikan aspek material, desain, dan fungsi dalam pembangunannya lho.

Pada umumnya rumah Walewangko berbentuk panggung, kemudian desainnya mempertimbangkan pola kehidupan serta budaya masyarakat Minahasa.

Setiap keunikan bangunan ternyata memiliki arti filosofi tersendiri, kamu bisa dapatkan informasi selengkapnya dari pembahasan rumah adat Minahasa kali ini.

Sejarah Rumah Adat Walewangko

Sejarah Rumah Adat Walewangko

Walewangko sebetulnya merupakan nama dari sebuah desa di Kecamatan Langowan Barat, Sulawesi Utara.

Penamaan rumah “Walewangko” ini diambil dari penggabungan kata “Wale” serta “Bale,” yang artinya yaitu rumah untuk berbagai macam kegiatan keluarga.

Kalau diartikan ke dalam bahasa Indonesia, “Walewangko” artinya adalah “rumah pewaris.”

Berdasarkan info dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), rumah adat Walewangko bukan cuma jadi simbol budaya yang unik buat suku Minahasa, tapi juga punya nilai sejarah sebagai tempat tinggal para pemimpin adat di masa lampau.

Zaman dulu Suku Minahasa membangun rumah Walewangko menggunakan teknik ikat, mereka akan menempelkan bangunan pada sebatang pohon berukuran tinggi dan kuat.

Alasan Suku Minahasa suka teknik ikat saat membangun rumahnya karena berkaitan langsung dengan keamanan para penghuninya.

Dengan menggunakan teknik ikat, bangunan bisa membuat para penghuninya terhindar dari gangguan binatang buas serta risiko bencana banjir.

Sayangnya teknik ikat tidak mampu bertahan lama, kemudian Suku Minahasa mulai merencanakan membuat rumah menggunakan teknik baru yang lebih aman.

Seiring berjalannya waktu, rumah adat Sulawesi Utara Walewangko berubah menjadi konsep rumah panggung.

Berhubung tidak ada tradisi yang menggunakan besi maupun beton sebagai bahan rumah, maka Suku Minahasa memanfaatkan kayu-kayu berkualitas untuk pembangunan rumah Walewangko.

Suku Minahasa menggunakan kayu besi (instia bijuga) dalam pembuatan rangka rumah panggung.

Nah, tradisi menggunakan kayu sebagai bahan bangunan terus menjadi tradisi keturunan Suku Minahasa. Hal ini mendorong terbentuknya rumah khas Walewangko yang mampu bertahan lama hingga saat ini.

Bentuk Arsitektur Rumah Walewangko

Bentuk Arsitektur Rumah Walewangko
sketsa rumah adat walewangko sulawesi utara

Rumah Pewaris ini merupakan rumah panggung yang seluruhnya terbuat dari kayu ulin, kayu khas dari Kalimantan yang terkenal karena kekuatannya dan tahan lama.

Saking kuatnya, masyarakat Dayak sering menyebut kayu ini sebagai “kayu besi” karena sifatnya yang semakin keras jika terkena air.

Uniknya lagi, rumah ini dihiasi dengan berbagai ukiran di dinding, ujung atap, pagar, tangga, dan bagian lainnya.

Ukiran-ukiran tersebut biasanya didominasi warna kuning, putih, dan hitam. Selain mempercantik rumah, ukiran ini juga dipercaya membawa keberuntungan dan berfungsi sebagai penolak bala.

Rumah adat Sulawesi Utara satu ini tak punya dinding kamar serta juga ngga ada loteng. Bentuknya rumah panggung dengan tiang-tiang penyangga dari balok yang kuat dan kokoh.

Biasanya, ada sekitar 16 sampai 18 tiang penyangga, dan di bagian depan rumah ada dua tangga. Keunikan rumah Walewangko ada di tiang-tiang penyangganya yang nggak boleh disambung.

Awalnya, rumah adat suku Minahasa ini cuma punya satu ruangan aja. Kalau mau nambah ruangan, harus dipisahin pakai tali rotan atau ijuk, dan tikar yang digantung sebagai pembatas. Dua tiang penyangganya nggak boleh disambung.

Arsitektur Bagian Luar

Sesuai penjelasan sebelumnya, bangunan berbentuk panggung dengan ketinggian mencapai 1,5 meter dari permukaan tanah.

Bagian atapnya memanjang dari depan hingga belakang rumah, kemudian bagian terasnya mengarah langsung ke tangga sisi kiri maupun kanan.

Bentuk bangunan terlihat simetris tepatnya pada bagian fasad, lalu kedua anak tangga berlawanan satu sama lain.

Bentuk tangga saling berlawanan ternyata memiliki makna filosofis tersendiri bagi warga Suku Minahasa, mungkin kamu hanya menemukannya saat berkunjung ke Sulawesi Utara.

Di bagian depan terdapat beberapa bagian bernama lesar, sekay dan pores yang fungsinya berbeda-beda.

Lesar

Lesar terdapat dinding dan menyerupai sebuah beranda. Biasanya, Lesar ini dipakai oleh para pemangku adat dan kepala suku untuk berbicara atau menyampaikan pengumuman kepada warga.

Sekay

Berbeda dengan lesar, sekay punya dinding yang terletak langsung setelah pintu. Sekay berfungsi untuk menjamu tamu, tempat acara atau jamuan.

Pores

Ruangan berikutnya adalah “Pores,” yang biasanya digunakan untuk menerima tamu keluarga dekat.

Kadang-kadang, ruangan ini juga dipakai untuk menyambut tamu perempuan atau sekadar jadi tempat berkumpul sehari-hari.

Pores biasanya langsung terhubung dengan dapur, kamar tidur, dan ruang makan, jadi semuanya terasa lebih praktis dan dekat.

Bagian Dalam Bangunan

Biasanya Suku Minahasa menggunakan kayu sebagai pilar bangunan, kemudian bagian dinding memakai bahan anyaman bambu.

Tiap keluarga akan membagi rumah menjadi 3 bagian meliputi area depan sebagai tempat upacara, ruang tengah menerima tamu, dan belakang sebagai tempat acara.

Di belakang rumah ada balai-balai yang biasa dipakai untuk menyimpan alat makan, peralatan masak, dan juga jadi tempat cuci.

Di atasnya ada loteng atau “Soldor” yang berfungsi buat menyimpan hasil panen seperti padi, jagung, kelapa, dan lainnya.

Bagian Bawah Bangunan

Lantai rumah biasanya menggunakan bahan kayu tersusun rapi agar bisa menutupi semua area, khususnya kolong bawah.

Suku Minahasa lebih suka menggunakan kayu sebagai lantai karena mampu mendatangkan kehangatan serta kenyamanan bagi para penghuninya secara langsung.

Saat proses pembangunannya, Suku Minahasa biasanya akan memilih lokasi luas, datar, dan aman agar memudahkan pembentukan pondasinya.

Lokasi akan sangat mempengaruhi akses bagian depan hingga area belakang bangunan, sehingga tidak boleh sembarangan.

Keunikan dan Filosofis Rumah Walewangko

Bentuk Arsitektur Rumah Pewaris

Rumah adat Walewangko atau memiliki nama lain “Rumah Warisan” ternyata menyimpan keunikan dan makna filosofis bagi Suku Minahasa.

Penasaran berbagai keunikan rumah Walewangko? Sebagai bentuk warisan budaya leluhur, segala aspek bangunan Walewangko sesuai kepercayaan masyarakat sekitar.

Penggunaan Daun Rumbia dan Tanah Liat

Suku Minahasa zaman dulu membangun rumah Walewangko dari daun rumbia, kemudian bagian gentengnya terbuat dari tanah liat.

Pemilihan bahan bangunan memiliki makna filosofis bahwa hanya orang yang sudah meninggal boleh tinggal di atas tanah sesuai syariat agama.

Tangga Kiri Kanan Saling Berhadapan

Mengapa rumah Walewangko memiliki tangga saling berhadapan? Tangga kiri kanan berhadapan seolah membentuk muara depan rumah mirip huruf U terbalik.

Tangga berhadapan bermakna bisa mengusir roh jahat yang bisa membawa dampak buruk bagi pemilik rumah tersebut. Sewaktu roh menaiki tangga yang satu, maka otomatis roh jahat bakal pergi melalui tangga lainnya.

Tidak hanya itu, jumlah tangga dalam rumah ternyata bisa mempresentasikan jumlah harta mempelai perempuan yang akan melangsungkan pernikahan lho. Bagaimana cukup unik, bukan?

Menggunakan Ornamen Berwarna Merah

Jika kamu melihat langsung bagian fasad bangunan rumah Walewangko, maka akan menemukan banyak ornamen berwarna merah tepatnya pada bagian sudut rumah.

Ornamen merah pada sisi kanan dan kiri bangunan bermakna keberanian, tidak akan takut terhadap gangguan apapun.

Fungsi Rumah Adat Pewaris Minahasa Walewangko

Suku Minahasa membangun rumah Walewangko secara khusus memang untuk kepentingan adat seperti melaksanakan ritual budaya, berkumpulnya keluarga, dan kegiatan adat Minahasa lainnya.

Masyarakat juga menggunakan kolong bangunan untuk menyimpan barang pribadi, bahan makanan, dan peralatan.

Untuk menjaga kelestarian rumah adat Walewangko, Suku Minahasa juga memperbolehkan bangunan sebagai sarana edukasi bagi generasi penerus.

Masyarakat Suku Minahasa serta orang luar suku bisa memasuki bangunan untuk mendapatkan pengetahuan baru mengenai warisan budaya Indonesia.