Rumah Adat Sulawesi Selatan

Rumah adat di Sulawesi Selatan (Sulsel) merupakan lebih dari sekadar tempat tinggal; ia adalah manifestasi dari budaya dan tradisi yang kaya.

Sama seperti rumah tradisional di Indonesia lainnya, setiap rumah tradisional di Sulsel berdiri unik dengan bentuk, tata ruang, dan ornamen yang mencerminkan identitas suku dan adat istiadatnya.

Ada empat rumah adat utama di Sulsel, masing-masing dengan karakteristik yang menonjolkan adat suku yang berlaku.

Adat-istiadat ini tidak hanya membentuk perilaku masyarakat tetapi juga memandu mereka dalam membangun rumah sesuai dengan kebutuhan hidup mereka.

Dalam setiap struktur fisik rumah tradisional, kita dapat melihat bagaimana adat dan kepercayaan masyarakat diwujudkan.

Dari bentuk bangunan hingga tata letak dan hiasan, setiap detail rumah memiliki cerita dan makna tersendiri.

Berikut ini rangkuman tentang nama-nama rumah adat di Sulawesi Selatan beserta penjelasan dan gambarnya.

Sekilas Tentang Rumah Adat Sulawesi Selatan

Rumah adat Sulawesi Selatan adalah warisan arsitektural yang mencerminkan keragaman budaya suku-suku di wilayah tersebut, seperti Makassar, Bugis, Toraja, dan Mandar.

Setiap suku memiliki gaya arsitektur yang unik, yang terlihat pada desain dan interior rumah-rumah tradisional mereka yang masih berdiri kokoh hingga hari ini.

Dalam sejarahnya, rumah adat ini tidak hanya dihuni oleh masyarakat umum tetapi juga oleh para raja, dengan perbedaan yang jelas dalam desain dan konstruksi.

Sebagai contoh, Rumah Tongkonan Toraja yang dibangun dengan atap dari daun dan dinding tebing, serta tiang-tiang segitiga yang kuat, merupakan salah satu bentuk hunian tradisional yang masih dipertahankan hingga sekarang, menunjukkan kekayaan dan keunikan budaya Sulawesi Selatan.

Fungsi Rumah Adat SulSel

Rumah adat di Sulawesi Selatan memiliki peran yang lebih dari sekadar tempat tinggal. Selain sebagai pusat berbagai kegiatan sosial, rumah adat juga digunakan untuk upacara religi oleh keluarga yang menghuninya.

Contoh rumah adat khas Sulawesi Selatan adalah Rumah Tongkonan, yang di era modern ini sering digunakan sebagai tempat penyimpanan padi.

Selain itu, Rumah Saoraja, yang dulunya dihuni oleh kalangan bangsawan, hingga kini masih berfungsi dan digunakan oleh keluarga bangsawan Bugis untuk menyimpan benda-benda pusaka.

Ciri Khas dan Keunikan Rumah Adat Sulawesi Selatan

Ciri khas rumah adat Sulawesi Selatan mencakup desain yang simbolis dan memiliki landasan filosofis yang terkait dengan sejarah dan leluhur.

Sebagai contoh, rumah Tongkonan memiliki atap berbentuk perahu terbalik sebagai penghormatan kepada leluhur masyarakat Toraja yang merupakan pelaut.

Selain itu, rumah adat di Sulawesi Selatan sering memiliki bentuk memanjang ke belakang dan terhubung dengan bangunan lain.

Ini disebabkan oleh banyaknya ruangan yang diperlukan untuk keperluan keluarga, seperti ruang keluarga, kamar tidur, tempat berkumpul, dan penyimpanan bahan makanan serta benda pusaka.

Ornamen desain spiral juga menjadi ciri khas yang terdapat pada beberapa rumah adat di Sulawesi Selatan.

Selain itu, hiasan kepala kerbau di wajah rumah juga menambah daya tarik dan keunikan bagi para wisatawan yang ingin menjelajahi budaya Sulawesi Selatan melalui keberagaman rumah adat yang ada.

Nama-nama Rumah Adat Sulawesi Selatan Beserta Penjelasan dan Gambarnya

Rumah Adat Toraja Tongkonan

Rumah Adat Toraja Tongkonan

Tongkonan adalah rumah adat suku Toraja yang terletak di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan.

Nama “Tongkonan” berasal dari kata “tongkon,” yang berarti “duduk.”

Desain rumah tradisional ini menyerupai perahu dari Kerajaan China dan mengingatkan kita bahwa nenek moyang suku Toraja pernah sampai ke Sulawesi Selatan menggunakan perahu.

Rumah adat Tongkonan dibangun dengan menggunakan kayu khas Sulawesi, yaitu kayu Uru. Keunikan lainnya adalah dalam proses pembangunannya, tidak ada penggunaan unsur logam, bahkan paku jarang digunakan.

Warna yang dominan pada rumah ini adalah merah, hitam, dan kuning, dipilih oleh masyarakat sebagai bagian dari identitas dan kekayaan budaya Sulawesi Selatan.

Rumah Adat Saoraja

Rumah Adat Saoraja

Rumah Adat Saoraja adalah simbol kebudayaan dan pengaruh Islam pada masyarakat Suku Bugis di Sulawesi Selatan, yang tercermin dari orientasi rumah yang selalu menghadap ke arah kiblat.

Dalam pembangunannya, rumah ini unik karena tidak menggunakan paku, melainkan konstruksi kayu dan besi yang kokoh.

Mengikuti tradisi rumah panggung seperti Tongkonan, rumah Saoraja juga dibangun dengan model panggung yang tinggi.

Terdapat tiga zona utama dalam rumah Saoraja, yaitu Kalle Bala, Rakkeang, dan Passiringan atau Awasao, masing-masing dengan fungsi dan kegunaan yang berbeda.

Rumah Bola menjadi pilihan bagi masyarakat umum, sementara rumah Saoraja dengan desainnya yang megah dan elegan, diperuntukkan bagi kalangan bangsawan, menegaskan status sosial dan tradisi yang dihormati dalam masyarakat Bugis.

Rumah Adat Balla Lompoa

Rumah Adat Balla Lompoa

Rumah ini merupakan simbol kemegahan dan kebangsawanan suku Makassar yang berada di pesisir barat daya Sulawesi Selatan.

Dibangun dengan menggunakan kayu berkualitas dan atap dari ijuk atau jerami, rumah Balla Lompoa dirancang dengan sepuluh tiang penyangga yang menjulang tinggi hingga tiga meter.

Keunikan rumah adat Gowa ini terletak pada pembagian ruangannya; mulai dari dego-dego, sebuah teras yang menyambut setiap tamu, hingga paddaserang dallekang, ruang tamu yang hangat dan menyambut.

Di bagian tengah, terdapat ruang keluarga yang menjadi pusat kehidupan bersama, sementara kamar tidur yang tenang dan nyaman terletak di bagian paling belakang, menjadi saksi bisu atas istirahat dan mimpi para penghuninya.

Rumah Adat Suku Luwuk

Rumah Adat Suku Luwuk

Di Luwuk, terdapat rumah tradisional yang berasal dari suku asli, yaitu Suku Saluan, Suku Balantak, dan Suku Banggai. Saat ini, suku-suku ini menjadi satu-satunya yang mendiami Kota Luwuk.

Pada zaman dahulu, rumah adat Suku Luwuk dihuni oleh raja Luwuk dan dibangun dengan menggunakan 88 tiang kayu sebagai bahan utamanya.

Bentuk rumah ini berbentuk segiempat. Setiap sisi pintu dan jendela rumah dihiasi dengan ornamen ukiran yang khas.

Ornamen yang dipahat pada pintu, jendela, dan tangga rumah adat ini disebut Parengreng dan menjadi lambang kehidupan yang tidak terputus.

Rumah Tradisional Boyang Suku Mandar

Rumah Tradisional Boyang Suku Mandar

Di antara berbagai rumah tradisional yang tersebar di Sulawesi Selatan, terdapat sebuah rumah unik yang berasal dari Suku Mandar, yaitu rumah Boyang.

Rumah ini tidak hanya dapat ditemukan di Sulawesi Selatan, tetapi juga di Sulawesi Barat. Suku Mandar sendiri terkenal dengan perayaan adatnya yang meriah, seperti Passandeq dan Sayyang Pattu’du.

Rumah Boyang memiliki desain yang mirip dengan rumah Bugis. Namun, ada beberapa perbedaan yang mencolok. Salah satunya adalah ukuran teras rumah Boyang yang jauh lebih luas.

Rumah ini berbentuk rumah panggung yang ditopang oleh tiang-tiang kayu. Atapnya unik, berbentuk seperti ember yang miring ke arah depan.

Salah satu keunikan lain dari rumah Boyang adalah cara penempatan tiangnya. Tiang-tiang rumah ini diletakkan di atas batu datar, bukan ditancapkan ke tanah. Hal ini dilakukan untuk mencegah pelapukan.

Selain itu, rumah ini juga dilengkapi dengan dua tangga, masing-masing terdiri dari 7 hingga 13 anak tangga, yang terletak di bagian depan dan belakang rumah.

Rumah Adat Balla To Kajang

Rumah Adat Balla To Kajang

Rumah Kajang, atau dikenal juga dengan sebutan Balla To Kajang, adalah rumah tradisional yang menjadi tempat tinggal masyarakat adat Kajang di Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Rumah ini memiliki model panggung, mirip dengan rumah adat lainnya di Sulawesi Selatan.

Menurut informasi dari laman resmi Pemerintah Kabupaten Bulukumba, rumah Kajang dibangun dengan menggunakan bahan-bahan alami.

Kayu digunakan sebagai bahan utama, sementara daun nipa dan alang-alang dijadikan atap. Ijuk dan rotan digunakan sebagai pengikat, dan bambu digunakan untuk lantai dan dinding.

Meski menggunakan kayu sebagai bahan utama, rumah masyarakat adat Kajang tidak terlalu banyak menggunakan kayu.

Hanya tiga balok pasak atau sulur bawah (padongko) yang diperlukan untuk membangun rumah ini. Balok-balok tersebut melintang dari sisi kiri ke sisi kanan rumah.

Untuk mengikat kesatuan tiang dalam satu jejeran (latta’) pada bagian atas rumah, diletakkan balok besar yang melintang dari sisi kiri ke kanan.

Rumah Kajang dianggap sebagai mikrokosmos dari hutan adat. Oleh karena itu, penggunaan balok (padongko dan lilikang) tersebut melambangkan tangkai-tangkai kayu pada sebatang pohon, yang diasosiasikan dengan tiang-tiang rumah.

Untuk menjaga stabilitas tiang-tiang tersebut, mereka ditanamkan ke dalam tanah dengan kedalaman sekitar setengah depa (sihalirappa) atau paling dangkal satu siku (sisingkulu).

Rumah-rumah di daerah adat Kajang biasanya terdapat aksesoris anjungan (anjoang) yang berbentuk tanduk kerbau, atau memakai ukiran kayu.

Anjungan tersebut melambangkan dunia atas dan biasanya berbentuk naga, yang dalam kosmologi suku Kajang, dianggap sebagai binatang raksasa penjaga langit.

Uniknya, rumah adat suku Kajang memiliki dapur di bagian depan yang menghadap jalan utama, berbeda dengan rumah pada umumnya yang memiliki dapur di bagian belakang.

Hal ini melambangkan kesederhanaan dan kejujuran, mereka ingin menunjukkan apa adanya. Mereka selalu menyembunyikan rumah di balik hutan.

Di dalam setiap rumah adat suku Kajang, tidak ada satupun peralatan rumah tangga. Tidak ada kursi ataupun kasur.

Bahkan mereka tidak menggunakan satu barang elektronik pun. Ini semua mencerminkan gaya hidup sederhana dan alami mereka.

Rumah Adat Banua Maoge Wotu

Rumah Adat Banua Maoge Wotu

Selanjutnya, di Sulawesi Selatan terdapat rumah adat yang bernama Banua Maoge. Rumah ini berlokasi di Kecamatan Wotu, Kabupaten Luwu Timur.

Menurut sumber dari Kikomunal Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual RI, rumah Banua Maoge pada masa lalu berfungsi sebagai istana.

Tempat ini menjadi tempat bertahta bagi Macoa Bawalipu, seorang pemimpin adat di wilayah Wotu, dan juga menjadi tempat penyimpanan barang-barang berharga milik Kemacoaan Bawalipu.

Rumah Adat Banua Maoge Wotu memiliki 99 tiang. Dahulu, rumah ini digunakan sebagai pusat kegiatan adat dan budaya masyarakat Wotu.

Namun, karena kurang terawat dan terbengkalai, saat ini rumah adat ini telah disulap oleh pemuda setempat menjadi sebuah kedai. Kedai tersebut pun diberi nama “Kedai”.