Rumah Mbaru Niang adalah salah satu rumah adat NTT milik Suku Manggarai yang terletak di Kampung Adat Waerebo.
Desa Wae Rebo sendiri adalah kampung adat yang berada di Pegunungan Pocoroko, tepatnya di 1200 mdpl.
Karena berada di lereng pegunungan udaranya sangat sejuk serta pemandangan sekitarnya sangat indah dengan pegunungan hijau yang mempesona.
Karena keunikan dan keindahannya Desa Waerebo memenangkan penghargaan Warisan Budaya Dunia dari UNESCO pada tahun 2012.
Semenjak itu banyak wisatawan lokal dan luar negeri yang datang berkunjung untuk melihatnya.
Penasaran bagaimana penampakan rumah di desa tertinggi di Indonesia ini? Simak penjelasannya dalam artikel rumah adat mbaru niang berikut ini.
Sejarah Rumah Adat Mbaru Niang
Menurut penuturuan masyarakat adat setempat, nenek moyangnya berasal dari Minangkabau, yang bernama Empo Maro.
Empo Maro melakukan pelayaran dari Pulau Sumatera sampai ke Labuan Bajo. Ia lari dari kampungnya karena difitnah dan banyak yang ingin membunuhnya. Selama perantauannya, Maro singgah di beberapa kota, termasuk Gowa di Sulawesi.
Di perjalanan, Maro menemukan seorang istri dan mengajaknya berpindah bersama. Suatu malam, Maro bermimpi bertemu dengan seorang petua yang menasihatinya untuk menetap dan berkembang di Kampung Wae Rebo.
Maro mengikuti petua tersebut dan bersama istri, mereka mencari dan menetap di Waerebo dan mulai membangun rumah di sana.
Masyarakat adat Waerebo telah menghuni Mbaru Niang sejak abad ke-18. Bangunan rumahnya terus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat setempat sehingga masih ada hingga saat ini.
Desa Waerebo sendiri telah berumur 1200 tahun dan telah memasuki generasi ke-20. Di mana 1 generasi berusia sekitar 60 tahun lamanya.
Sekilas Tentang Rumah Adat Mbaru Niang
Menyadur dari buku Mbaru Gendang, Rumah Adat Manggarai, Flores karya Dr. Yohanes S. Lon, rumah adat Mbaru Niang bentuknya kerucut serta memiliki lima lantai dengan tinggi mencapai 15 meter.
Atapnya terbuat dari daun lontar hampir menyentuh tanah. Keseluruhan rumah ini terselimuti oleh ijuk. Uniknya pembangunan rumah adat NTT ini tanpa menggunakan paku, tetapi hanya dengan tali rotan.
Rumah adat Mbaru Niang terdiri dari dua kata yaitu Mbaru yang berarti ‘rumah,’ dan Niang yang berarti ‘tinggi’ dan ‘bulat.’
Penamaan rumahnya mencerminkan bentuk Mbaru Niang yang berbentuk kerucut dan meruncing ke atas. Mbaru Niang terdiri dari tujuh rumah yang disusun berbentuk melingkar di tanah datar.
Di tengah lingkaran terdapat altar bernama Compang. Compang merupakan titik pusat dari ketujuh Mbaru Niang serta mempunyai makna yang sakral bagi suku Manggarai di Waerebo. Altar Compang dipakai untuk sembahyang menyembah Tuhan serta roh-roh leluhur.
Ketujuh rumah tersebut diberi nama Niang Gena Mandok, Niang Gena Ndorom, Niang Gena Jintam, Niang Gena Keto, Niang Gena Maro, Niang Gena Jekong dan Niang Gendang.
Niang Gendang menjadi tempat penyimpanan gendang. Sementara Mbaru Niang lainnya menjadi rumah untuk masing-masing keluarga di Waerebo.
Arsitektur Rumah Adat Mbaru Niang
Setiap rumah Mbaru niang punya dua pintu, yaitu pintu depan dan pintu belakang. Pintu depan selalu menghadap ke compang.
Selain itu, terdapat empat jendela kecil. Material utama yang digunakan adalah kayu, dengan tiang utama terbuat dari kayu Worok, papan lantai dari kayu Ajang, dan balok struktur rumah menggunakan kayu Uwu.
Selain kayu, juga digunakan bambu yang dikombinasikan dengan kayu kentil berukuran 1 cm untuk rangka atap.
Konstruksi kayu ini dirangkai membentuk ikatan panjang dan diikat secara horizontal, membentuk lingkaran pada setiap tingkatan rumah.
Pada awal pembangunan, tiang utama diletakkan pada lantai dasar dengan kedalaman 1,5-2 meter ke dalam tanah dan dilapisi dengan ijuk agar tidak cepat lapuk.
Lantai dasar rumah ini dibuat dalam konstruksi panggung yang ditinggikan sekitar 1,20 meter dari permukaan tanah, menyesuaikan dengan kondisi alam di sekitar Wae Rebo.
Selanjutnya, balok lantai dipasang berulang hingga mencapai lantai terakhir. Setelah konstruksi melingkar terbentuk pada setiap lantai, rangka atap segera dibentuk.
Mengutip dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), rumah adat Mbaru Niang ditopang oleh dua jenis tiang penyangga yaitu hiri ngaung dan hiri mehe (tiang utama).
Kedua jenis tiang ini mempunyai fungsi yang berbeda. Hiri ngaung berguna untuk menanggung beban lantai dasar, sementara hiri mehe berperan untuk tiang utama penyangga beban bangunan.
Semua tiang penyangga ditanamkan ke dalam tanah dan dilapisi dengan ijuk serta plastik agar tahan lama. Perbedaan antara keduanya terletak pada kedalaman penanaman.
Hiri ngaung ditanam minimal 80 cm dengan umpak batu di bagian bawahnya, sedangkan hiri mehe harus ditanam minimal 100 cm.
Dalam satu Mbaru Niang, biasanya terdapat sembilan hiri mehe dan sekitar 42 hiri ngaung. Angka sembilan melambangkan jumlah bulan saat seorang ibu mengandung.
Setiap Mbaru Niang memiliki kolong (ngaung) setinggi sekitar 1 meter yang digunakan untuk menenun, menyimpan kayu, dan memelihara ternak.
Tingkatan Rumah Adat Mbaru Niang
Secara keseluruhan, rumah adat Mbaru Niang mempunyai lima lantai. Tiap lantai punyi fungsi yang berbeda. Berikut adalah penjelasan mengenai tingkatan yang ada di rumah adat Mbaru Niang:
Tingkatan Pertama (Lutur):
- Digunakan sebagai tempat tinggal dan ruang berkumpul dengan keluarga.
- Berfungsi sebagai ruang publik untuk kumpul-kumpul bersama.
- Memiliki diameter sekitar 11 meter.
Tingkatan Kedua (Lobo):
- Merupakan loteng yang dipakai untuk menyimpan bahan-bahan makanan pangan serta barang keperluan sehari-hari.
- Di lantai dua ini ada sebuah tiang yang digantung dengan bentuk buat sebesar kepala manusia. Tiang tersebut dianggap sebagai lambang kelahiran bayi.
- Diameter sekitar 9 meter.
Lantai Tiga (Lentar):
- Dipakai untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan seperti jagung, padi, ketela serta kacang-kacangan.
- Memiliki diameter sekitar 9 meter.
Lantai Empat (Lempa Rae):
- Berfungsi untuk menyimpan stok makanan jika terjadi kekeringan akibat musim kemarau atau gagal panen.
Tingkatan Kelima (Hekang Kode):
- Tempat untuk melakukan sesajian, yaitu persembahan untuk leluhur.
- Juga disebut hekang kode.
Semua tingkatan ini memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Wae Rebo dan melambangkan nilai-nilai budaya serta spiritualitas mereka.
Keunikan dan Filosofi Rumah Adat Mbaru Niang
Atap Kerucut Terbuat dari Daun Lontar
Yang menjadi ikonik dari penampilan rumah adat Manggarai ini karena bentuknya kerucut setinggi 15 meter, dengan atap dari daun lontar yang ditutupi dengan ijuk menjulur sampai hampir menyentuh tanah.
Atap kerucut ini punya makna sebagai simbol perlindungan dan persatuan antar masyarakat Waerebo. Alasnya yang berbentuk lingkaran juga melambangkan harmonisasi dan keadilan antar masyarakat dan keluarga.
Bangunan Kayu Tanpa Paku
Konstruksi rumah adat Manggarai ini terbuat dari kayu warok dan bambu, namun disatukan tanpa menggunakan paku. Sebaliknya, kerangka rumahnya diikat dengan kuat memakai tali rotan.
Lantai Tidak Menyentuh Tanah
Leluhur penduduk Wae Rebo menetapkan aturan bahwa rumah tidak boleh menyentuh tanah. Oleh karenanya, semua rumah di Desa Waerebo berbentuk rumah panggung dengan kolong setinggi 1 meter. Kolong ini berfungsi sebagai tempat ternak, penyimpanan kayu, dan tempat menenun.
Jumlah Tujuh Rumah
Sejak pertama kali dibangun hingga sekarang, jumlah rumah adat Mbaru Niang tetap tujuh. Angka ini memiliki makna penghormatan terhadap tujuh gunung yang mengelilingi kampung Wae Rebo.
Ketujuh rumah tersebut terdiri dari satu Mbaru Gendang (tempat penyimpanan gendang dan benda pusaka) dan enam Niang Gena (tempat tinggal). Semua rumahnya menghadap ke selatan dan membentuk pola setengah lingkaran.
Dihuni oleh Lima Hingga Enam Keluarga
Setiap Mbaru Niang memiliki ruang berkumpul yang luas, serta dapur dan lima ruang tidur. Setiap ruang tidur dipakai untuk satu keluarga, sehingga dalam satu rumah ada sekitar 5-6 keluarga dengan total 15-20 orang.
Vidio Rumah Adat Mbaru Niang
Kalau Kamu penasaran dengan bentuk bangunan, isi dalam rumah, serta kehidupan masyarakat di Desa Waerebo bisa menyaksikan vidio berikut ini: