Rumah adat Sumba adalah simbol penting dalam budaya Sumba serta mencerminkan nilai-nillai dan tradisi masyarakat setempat.
Bentuk arsitekturnya yang unik dan penuh makna filosofis membuatnya menarik untuk dipelajari lebih dalam.
Buat yang belum tahu rumah adat Sumba berasal dari NTT, dan namanya adalah Uma Bokulu atau Uma Mbatangu.
Salah satu desa adat yang masih melestarikannya sampai sekarang ada di Desa Ratenggaro, Kecamatan Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya.
Wisatawan yang berkunjung ke desa ini berasa kembali ke zaman megalitikum, karena di desa tersebut banyak kuburan batu besar. Simak artikel tentang rumah adat Uma Bokulu & Uma Mbatangu berikut ini.
Sekilas Tentang Rumah Adat Sumba dan Gambarnya
Rumah tradisional Sumba, yang dikenal sebagai Uma, dibangun menggunakan bahan-bahan alami seperti kayu, bambu, dan ilalang.
Desain arsitektur rumahnya terbilang unik, merepresentasikan kepercayaan budaya dan spiritual masyarakat Suku Sumba.
Rumah ini ditinggikan di atas panggung dengan atap jerami besar yang menutupi dinding, menciptakan ruang tertutup seperti teras di sekelilingnya.
Bentuk atap yang menyerupai tanduk kerbau, yang dianggap sebagai hewan suci di Sumba, menambah keunikan rumah ini.
Interior Uma terbagi menjadi tiga bagian utama yang masing-masing mempunyai fungsi khusus. Bagian depan digunakan untuk ruang tamu serta tempat menerima tamu.
Bagian tengah merupakan tempat tinggal dan ruang tidur, sementara bagian belakang digunakan untuk dapur dan area penyimpanan bahan makanan.
Dinding rumah ini sering dihiasi dengan ukiran dan lukisan rumit yang menceritakan cerita rakyat dan legenda setempat, memperkaya nilai budaya dan estetika rumah tradisional ini.
Sejarah Rumah Adat Suku Sumba
Suku Sumba, juga dikenal sebagai orang Marapu, merupakan suku asli Pulau Sumba yang memiliki budaya unik, kepercayaan tradisional, dan kerajinan tangan yang indah.
Menurut sejarah, Suku Sumba telah tinggal di pulau ini selama ribuan tahun dan telah menciptakan warisan budaya yang kaya.
Para ahli genetika percaya bahwa Suku Sumba pertama kali menetap di Pantai Utara Pulau Sumba pada masa Neolitikum sekitar 4.000 tahun sebelum Masehi.
Struktur megalitikum yang ada hingga sekarang mencerminkan kehidupan yang selaras dengan alam dan lingkungan sekitarnya.
Ratenggaro sendiri berasal dari dua kata yakni ‘Rate’ yang artinya kuburan, sementara ‘Garo’ mengacu pada orang-orang Garo.
Konon, pada masa lalu, terjadi perang antar suku di mana suku yang berhasil merebut wilayah desa orang-orang Garo akan mengubur suku yang kalah perang di tempat tersebut.
Di Ratenggaro, terdapat 304 makam batu, termasuk tiga yang memiliki bentuk unik dan terletak di pinggiran laut. Ukuran serta pahatan di tiap makamnya menambah kesan magis yang mendalam pada peninggalan leluhur.
Meskipun terkena hantaman angin kencang dari laut setiap hari, bentuknya yang menyerupai meja datar dan berukuran besar tetap kokoh. Selain makam leluhur atau raja, ada juga makam batu warga Rotenggaro dengan ukuran yang lebih kecil.
Bentuk dan Arsitektur Rumah Adat Sumba
Rumah adat Sumba, yang oleh masyarakat setempat disebut dengan nama Uma Bokulu atau Uma Mbatangu, memiliki arti khusus.
“Uma Bokulu” artinya adalah ‘rumah besar’, sedangkan “Uma Mbatangu” memiliki arti ‘rumah menara’. Seperti namanya, rumah adat Sumba memang mempunyai ciri khas berukuran besar serta bermenara.
Lebih rinci, rumah adat ini berbentuk rumah panggung dengan dinding kayu dan atap berundak serta berumbai yang dilapisi ilalang.
Atapnya menjulang tinggi, mencapai ketinggian antara 10 hingga 30 meter, mirip dengan menara. Meskipun demikian, ada juga beberapa rumah yang tidak memiliki menara, yang disebut “Uma Kamadungu”.
Bangunan rumahnya berbentuk segi empat dan didukung oleh empat tiang kokoh dan besar.
Tiang-tiang ini berfungsi sebagai pilar dan rangka utama rumah, serta penopang menara. Keempat tiang tersebut juga menggambarkan arah mata angin.
Secara keseluruhan, rumah-rumah adat yang tersebar di kampung adat Sumba memiliki bentuk seragam, meskipun tinggi rumah bisa bervariasi.
Terbagi Menjadi Tiga Bagian
Rumah adat Nusa Tenggara Timur satu ini memiliki tiga bagian utama: Lei Bangun, Rongu Uma, dan Uma Daluku.
1. Lei Bangun
Ini adalah bagian kolong yang digunakan untuk memelihara dan merawat ternak, seperti babi dan unggas. Biasanya, Lei Bangun tingginya sekitar satu meter.
2. Rongu Uma
Bagian ini adalah lantai dua yang merupakan bangunan utama. Fungsinya sebagai tempat tinggal para anggota keluarga. Di area tengah Rongu Uma, masyarakat melakukan berbagai aktivitas sehari-hari, termasuk memasak.
3. Uma Daluku
Adalah ruangan pada bagian menara (loteng atau ruang di bawah atap) yang berfungsi untuk menyimpan bahan makanan serta benda pusaka yang dikeramatkan.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ada empat tiang yang berfungsi sebagai penopang rumah sekaligus menara.
Di bagian tengah Rongu Uma, di antara empat pilar tersebut, terdapat ruangan yang berfungsi sebagai dapur, tempat para ibu atau perempuan memasak.
Selain itu, ada juga perapian yang digunakan untuk mengawetkan makanan. Pada bagian atap, empat tiang penyangga dihiasi dengan ukiran khas yang membedakan pintu laki-laki dan pintu perempuan.
Pintu laki-laki khusus bagi kepala rumah tangga atau ayah untuk memasuki rumah. Letaknya biasanya ada di dekat ruang tamu yang menjadi tempat berkumpul atau diskusi para laki-laki.
Sementara itu, tiang pintu perempuan dipakai oleh para ibu untuk keluar saat akan pergi belanja ke pasar. Pintu perempuan biasanya terletak di dekat dapur, yang menjadi pusat kegiatan para ibu atau Inna.
Dengan adanya pintu-pintu yang membedakan, penghuni tak dapat sembarangan keluar masuk.
Selain itu, terdapat tempat khusus berbentuk bundar di setiap bagian atas tiang, yang oleh penduduk dipercaya sebagai tempat bersemayam sang Marapu.
Makna Filosofi Rumah Adat Sumba
Dimulai dari lapisan bawah atau area Lei Bangun, tempat ini menyimbolkan dunia bawah yang menjadi jalur para roh jahat. Selain itu, di area ini juga mengandung makna filosofi sebagai tempat menyatunya dengan alam.
Selanjutnya ada Rongu Uma yang menjadi bangunan utama dan menjadi lambang kehidupan manusia yang terus berjalan. Area ini juga digunakan untuk tempat pemujaan serta penyucian sebelum menuju dunia atas.
Bangunan utama umumnya terbagi menjadi dua sisi: kanan dan kiri. Sisi kanan atau kaheli bokulu adalah area maskulin yang sering dipakai untuk beragam upacara adat serta kegiatan laki-laki lainnya.
Sementara itu, di bagian sisi kiri atau kaheli maringu merepresentasikan sisi feminin serta menjadi area pekerjaan rumah tangga oleh wanita.
Pemisahan ini mengandung makna filosofi tentang perbedaan tugas dan peran antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga.
Berikutnya, ada Uma Daluku atau bagian menara tempat yang melambangkan dunia atas, ruang Marupu atau leluhur.
Masyarakat adat percaya bahwasannya menara ini adalah tempat tinggalnya para roh leluhur, yang mengawasi mereka dari atas. Oleh karena itu, bagian atas ini menjadi simbol penyembahan kepada Tuhan.
Selain filosofi bangunan rumah, terdapat tradisi menggantung tanduk kerbau di bagian depan rumah. Hal ini menandakan bahwa pemilik rumah sudah memotong hewan kurban untuk ritual adat.
Semakin besar ukuran dan banyaknya tanduk, semakin tinggi status sosial pemilik rumah.
Kubur Batu
Rumah adat Sumba biasanya dibangun mengelilingi kubur batu, yang diyakini sebagai peninggalan zaman Megalitikum.
Penataannya ngga hanya menambah nuansa magis, akan tetapi juga merepresentasikan kepercayaan masyarakat terhadap hubungan sosial yang baik antarsesama, khususnya pada anggota keluarga yang sudah meninggal.
Adanya rumah adat berdampingan dengan kubur batu ini juga menjadi pengingat bahwa kehidupan merupakan proses yang mencakup kelahiran dan kematian.
Hal ini mengingatkan masyarakat untuk memanfaatkan hidup dengan berbuat baik, sehingga mereka akan mendapatkan tempat yang layak di akhirat nanti.
Beberapa kubur batu dilengkapi dengan penji atau menhir yang diukir dengan motif tradisional. Ukiran tersebut sekaligus menjadi tanda identitas dan status sosial bagi mendiang yang dikuburkan di sana.
Ritual Pembangunan Rumah Adat Sumba
Pembangunan rumah adat biasanya memerlukan biaya yang tidak sedikit karena bahan-bahannya, seperti kayu, bambu, atap ilalang, dan tali rotan, kini tidak lagi mudah didapatkan.
Selain itu, setiap tahap pembangunan biasanya akan ada ritual pemotongan hewan kurban. Kurban ini bertujuan untuk meminta restu kepada leluhur dan sekaligus sebagai ungkapan terima kasih kepada warga yang turut bergotong royong dalam pembangunan rumah adat.
Pada tahun berikutnya, diadakan pesta dengan membunyikan tambur dan gong. Beberapa hewan yang akan dikurbankan dalam upacara ini biasanya kerbau jantan, anjing atau babi.
Setelah pesta, proses pengumpulan bahan-bahan yang diperlukan untuk membangun rumah adat dimulai. Empat kayu bulat utuh yang jadi tiang utama adalah bahan bangunan utama dan biasanya dicari di hutan.
Penebangan kayu, menguliti, serta membawanya ke kampung harus diawali dengan upacara dan permohonan restu kepada Marapu.
Sebelum berangkat, seekor ayam dipotong dan diperiksa organ dalamnya untuk mengetahui apakah niat mereka telah mendapat restu dari marapu.
Setelah menemukan kayu yang diinginkan, masyarakat melakukan pemujaan dan memohon izin kepada roh penunggu pohon.
Setelah ritual tersebut, pohon boleh ditebang dan bersama-sama diangkut ke kampung. Sesampainya di kampung, mereka merayakan pesta syukur karena usaha mereka berhasil.
Beberapa hewan dikurbankan dan dimakan bersama sebagai tanda syukur. Selain batang kayu, bahan lain seperti bambu digunakan sebagai dinding dan lantai rumah, serta alang-alang untuk atap.
Pada pembangunan rumah adat, batang kayu untuk tiang utama biasanya diukir dengan pola-pola tradisional.
Selama proses pengukiran, akan diiringi oleh musik gong dan tambur serta beberapa hewan akan dikurbankan, seperti babi dan anjing, untuk kemudian dimakan bersama-sama.
Setelah semua bahan terkumpul, pembangunan rumah dimulai dengan pemotongan hewan kurban sebagai permohonan restu dan panggilan kepada arwah marapu pendiri rumah.
Keunikan Rumah Adat Sumba
Secara keseluruhan, dapat dirangkum rumah adat Sumba, yang dikenal sebagai “Uma Mbatangu” atau “rumah menara,” memiliki beberapa keunikan yang mencerminkan budaya dan kepercayaan masyarakat Sumba di Nusa Tenggara Timur (NTT):
1. Atap Menara
Rumah adat Sumba memiliki atap berbentuk menara yang tinggi dan runcing, terbuat dari ilalang atau daun lontar. Atap ini memiliki fungsi simbolis sebagai penghubung antara dunia manusia dan dunia roh.
2. Penataan Mengelilingi Kubur Batu
Rumah-rumah adat Sumba biasanya dibangun mengelilingi kubur batu megalitik. Penataan ini mencerminkan penghormatan terhadap leluhur dan kepercayaan akan kehidupan setelah mati.
3. Material Alami
Material yang digunakan pada saat pembangunan uma adalah bahan-bahan alami seperti kayu, bambu dan jerami. Tiang utama rumah, yang disebut “keda,” biasanya dibuat dari kayu keras dan dianggap suci.
4. Ukiran dan Hiasan
Rumah adat Sumba banyak terdapat hiasan dengan ukiran-ukiran yang mempunyai makna simbolis dan spiritual. Motif ukiran sering mencerminkan kepercayaan, mitologi, dan status sosial penghuninya.
5. Struktur dan Ruang
Rumah adat Sumba terdiri dari tiga bagian utama: bagian bawah untuk hewan ternak, bagian tengah sebagai ruang tinggal, dan bagian atas untuk menyimpan hasil panen. Struktur ini menunjukkan bagaimana masyarakat Sumba mengatur kehidupan sehari-hari mereka.
6. Ritual dan Upacara
Pembangunan dan perawatan rumah adat seringkali disertai dengan berbagai ritual dan upacara yang bertujuan untuk menjaga keharmonisan dengan leluhur dan roh-roh pelindung.
7. Hubungan Sosial dan Kekerabatan
Rumah adat Sumba juga mencerminkan sistem kekerabatan yang kuat. Setiap rumah biasanya dihuni oleh keluarga besar dan merupakan pusat dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat.
Keunikan-keunikan ini tidak hanya membuat rumah adat Sumba menarik secara arsitektural, tetapi juga menjadi simbol penting dari identitas budaya dan spiritual masyarakat Sumba.