Rumah adat Sulawesi Tenggara menampilkan karakteristik dan ciri khas yang membedakannya dari rumah adat Sulawesi lainnya.
Rumah adat Banua Tada, misalnya, terdiri dari tiga jenis rumah. Pertama, ada Kamali atau Malige, yang merupakan rumah atau istana bagi raja dan keluarganya.
Kedua, ada Banua Tada Tare Pata Pale, sebuah rumah siku bertiang empat yang menjadi tempat tinggal para pejabat dan pegawai istana.
Ketiga, ada Banua Tada Tare Talu Pale, yang merupakan tempat tinggal bagi masyarakat umum.
Rumah adat Malige dipenuhi dengan berbagai simbol dan hiasan yang banyak terinspirasi oleh konsep dan ajaran tasawuf.
Simbol dan hiasan tersebut tidak hanya sebagai dekorasi, tetapi juga melambangkan nilai-nilai budaya, kearifan lokal, serta cerita dari peradaban Kesultanan Buton di masa lalu.
Ini mencerminkan bagaimana sejarah dan filosofi mendalam terjalin dalam setiap detail arsitektur rumah adat ini.
Untuk mengetahui lebih jelasnya, simak pembahasan tentang rumah adat Sulawesi Tenggara dalam artikel ini.
Nama Rumah Adat Sulawesi Tenggara dan Gambarnya
Rumah Adat Laikas
Laikas merupakan rumah tradisional di Sulawesi Tenggara yang keberadaannya masih dilestarikan hingga saat ini. Bentuk asli rumah adat ini masih sangat terjaga, tanpa ada perubahan atau penambahan bentuk sedikit pun.
Rumah adat ini adalah rumah khas yang pada zaman dahulu menjadi tempat tinggal suku setempat. Lebih dari itu, rumah ini juga pernah digunakan sebagai tempat tinggal para raja dan keluarga besar mereka.
Maka dari itu, masyarakat setempat sangat menjunjung tinggi keaslian rumah ini dan berupaya melestarikannya hingga saat ini. Rumah ini menjadi salah satu ikon khas provinsi Sulawesi Tenggara yang sangat dihargai.
Arsitektur dan Ciri Khas Rumah Adat Laikas
Rumah adat laikas dirancang dengan gaya panggung dan memiliki 3 hingga 4 lantai, yang ditopang oleh sejumlah pilar.
Jumlah pilar ini bisa lebih dari 15 dan bahkan bisa lebih banyak lagi, tergantung pada ukuran dan jumlah lantai rumah.
Bahan utama yang digunakan dalam pembangunan rumah adat ini adalah kayu jati hutan.
Yang unik, rumah ini tidak menggunakan paku sebagai penghubung antar kayu, melainkan menggunakan metode bongkar pasang dengan kayu kecil sebagai penguncinya.
Pemilihan bahan kayu ini bukan tanpa alasan. Pada zaman dahulu, batu bata dan semen belum ditemukan. Selain itu, penggunaan bahan kayu juga membuat rumah menjadi lebih sejuk dan semakin kuat seiring bertambahnya usia kayu.
Rumah ini memiliki 3 hingga 4 lantai, dan penghuninya ditentukan berdasarkan strata sosial dalam masyarakat. Namun, sebagian besar rumah ini hanya memiliki satu lantai dan ditempati oleh rakyat biasa.
Lantai pertama untuk tempat menerima tamu atau kamar untuk asisten rumah tangga kerajaan.
Lantai kedua digunakan sebagai tempat istirahat raja dan permaisurinya. Adapun lantai ketiga berfungsi untuk menyimpan benda-benda pusaka kerajaan.
Sedangkan lantai keempat jarang dibangun karena kebanyakan masyarakat menganut kepercayaan nenek moyang yang mengharuskan rumah hanya setinggi 3 lantai.
Namun, ada juga yang membangun lantai keempat yang dikhususkan untuk tempat berdoa dan bersemedi.
Penghuni Rumah Adat Laikas
Rumah adat laikas banyak dihuni oleh suku Tolaki, suku terbesar di provinsi Sulawesi Tenggara.
Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2010, suku etnis ini berjumlah 2.232.586 jiwa dengan pertumbuhan penduduk sebesar 2,97% per tahunnya.
Suku Tolaki memiliki bahasa mereka sendiri, yaitu bahasa Tolaki, dan termasuk dalam keturunan bangsa Austronesia.
Ada pendapat yang menyebutkan bahwa suku ini adalah keturunan bangsa Mongoloid yang bermigrasi melintasi laut dan kemudian menetap di wilayah Sulawesi Tenggara.
Mata pencaharian utama suku ini adalah sebagai petani ladang dan pemilik kebun sawit yang luasnya mencapai puluhan hektar.
Beberapa dari mereka juga berprofesi sebagai pelaut, profesi yang khusus ada di wilayah pesisir Sulawesi Tenggara.
Masyarakat Tolaki juga dikenal dengan kerajinan tenun mereka yang telah diakui baik oleh penduduk lokal maupun internasional.
Kerajinan ini berupa kain tenun yang menjadi bahan dasar pembuatan pakaian adat Sulawesi Tenggara.
Menenun telah menjadi adat istiadat bagi ibu-ibu rumah tangga di wilayah Sulawesi. Hasil kain tenun ini kemudian akan disebar ke berbagai pelosok negeri hingga ke mancanegara.
Rumah Adat Megkongga
Berikutnya, kita akan membahas rumah adat Megkongga di Sulawesi Tenggara. Rumah adat ini memiliki fungsi utama tidak hanya sebagai tempat istirahat, tetapi juga sebagai tempat untuk melaksanakan upacara adat dan ritual.
Keadaan rumah adat ini saat ini masih sangat asri, berkat perawatan dan pelestarian yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Rumah ini dibangun berdasarkan kepercayaan masyarakat sejak dahulu kala, dengan luas yang sangat luas.
Jika Kamu berkunjung ke provinsi Sulawesi Tenggara, Anda wajib mengunjungi rumah adat ini.
Rumah ini merupakan destinasi wisata yang terkenal. Bahkan, ada pepatah yang mengatakan, “Jika belum berkunjung ke rumah adat Mengkongga, berarti belum benar-benar berkunjung ke Sulawesi Tenggara.”
Arsitektur dan Keunikan Rumah Adat Mengkongga
Rumah adat Mengkongga, yang dibangun untuk kerajaan, memiliki luas hingga 1 hektar dan dirancang dengan model rumah panggung.
Tentu saja, rumah adat ini didukung oleh tiang-tiang kayu yang kokoh dengan tinggi antara 4 hingga 5 meter, dan jumlah penyangganya bisa lebih dari 30.
Bahan utama dari rumah adat ini adalah kayu hutan khas Sulawesi. Tidak hanya tiang penyangganya, hampir seluruh bagian rumah, mulai dari dinding, pintu, hingga hiasan, banyak yang terbuat dari kayu.
Berbeda dengan rumah adat Sulawesi lainnya, atap Rumah adat Mengkongga sudah menggunakan genteng.
Rumah ini cukup unik karena tidak memiliki sekat di dalam ruangannya. Di dalam rumah ini hanya ada satu ruangan luas yang digunakan untuk berbagai kegiatan.
Selain digunakan sebagai tempat tinggal, rumah adat ini juga digunakan sebagai tempat upacara adat. Para raja setempat selalu menggunakan rumah ini untuk pertemuan besar, bahkan jika hanya untuk makan bersama.
Penghuni Rumah Adat Mengkongga
Rumah adat di wilayah Buton, yang merupakan ibu kota Kabupaten Muna di Provinsi Sulawesi Tenggara, dihuni oleh suku Muna.
Suku ini dikenal dengan kreativitasnya dalam menghasilkan berbagai kerajinan tangan, yang penyebarannya telah mencapai pelosok negeri.
Beragam kerajinan dihasilkan oleh suku Muna, seperti kain tenun yang menjadi bahan utama dalam pembuatan pakaian adat Sulawesi Tenggara.
Ada juga kerajinan yang disebut Nentu, yang terbuat dari kayu rotan dan umumnya berbentuk kotak tisu, nampan makanan, penutup nampan, dan vas bunga.
Selain itu, mereka juga menghasilkan kerajinan berupa kursi, meja, hiasan dinding, vas bunga, dan tempat lampu yang terbuat dari akar kayu jati.
Akar jati dari Sulawesi ini memang dikenal dengan kekuatannya dan menjadi jenis jati paling utama di Indonesia.
Suku Muna memiliki mata pencaharian utama sebagai nelayan, menghasilkan berbagai jenis ikan yang memiliki harga cukup tinggi.
Sebagian kecil dari mereka juga bercocok tanam dengan tanaman utama seperti padi, jagung, dan palawija lainnya.
Satu keunikan yang dimiliki oleh masyarakat suku Muna adalah banyak di antara mereka yang memiliki mata berwarna biru terang, kondisi yang biasa disebut Sindrom Waardenburg.
Sindrom ini ditandai dengan pigmentasi kulit tubuh, perbedaan fisik, dan bola mata berwarna biru.
Penyebab sindrom ini adalah mutasi gen pada sel kista dalam perkembangan embrio yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan. Keunikan ini hanya ada di Sulawesi Tenggara, tepatnya di wilayah Buton.
Rumah Adat Buton
Melansir dari Budaya Indonesia, rumah adat Buton memiliki bentuk rumah panggung dengan tiang-tiang, dan seluruhnya terbuat dari kayu.
Bangunan ini terdiri dari empat tingkat atau lantai, dengan ruang lantai pertama yang lebih luas dibandingkan lantai kedua.
Sementara itu, lantai keempat lebih besar dari lantai ketiga, sehingga semakin ke atas, ruangannya semakin sempit, meski lantai keempat sedikit lebih melebar.
Seluruh bangunan ini dibuat tanpa menggunakan paku besi, melainkan menggunakan pasak atau paku kayu. Terdapat lima tiang di bagian depan yang berjajar ke belakang hingga delapan deret, sehingga totalnya ada 40 tiang.
Tiang tengah yang menjulang ke atas disebut Tutumbu, yang berarti “tumbuh terus”. Tiang-tiang ini terbuat dari kayu dan semuanya berbentuk segi empat.
Untuk rumah yang ditempati oleh rakyat biasa, tiangnya berbentuk bulat dan biasanya puncaknya terpotong.
Status pemilik rumah dapat ditentukan dari jumlah tiang sampingnya. Rumah adat dengan empat tiang samping, yang berarti rumah tersebut terdiri dari tiga petak, merupakan rumah rakyat biasa.
Sementara itu, rumah adat dengan delapan tiang samping, yang berarti rumah tersebut memiliki tujuh ruangan, khusus untuk rumah Sultan Buton.
Rumah adat yang biasa untuk masyarakat biasa namanya adalah Rumah Adat Buton. Sementara rumah adat yang digunakan oleh sultan atau raja namanya adalah Malige atau Kamali.
Rumah Adat Banua Tada
Rumah adat Buton, Sulawesi Tenggara yang akan kita bahas berikutnya bernama Banua Tada.
Nama “Banua Tada” berasal dari kata “Banua” yang berarti rumah dan “Tada” yang berarti siku, sehingga secara umum dapat diartikan sebagai “rumah siku” karena memiliki banyak siku-siku pada setiap sisinya.
Rumah ini dirancang dengan model rumah panggung dan memiliki tiga lantai, yang semuanya terbuat dari kayu jati khas Sulawesi. Baik dinding maupun interior rumah, semuanya menggunakan kayu jati.
Lantai pertama rumah ini digunakan sebagai tempat istirahat dan menerima tamu. Lantai kedua digunakan sebagai tempat untuk menyimpan pusaka kerajaan.
Sementara itu, lantai paling atas berfungsi sebagai tempat untuk berdoa dan meditasi. Rumah ini memiliki beberapa jenis, masing-masing dengan fungsi yang berbeda.
Setiap lantai rumah memiliki banyak ruangan, mengingat ukuran rumah yang cukup besar.
Berikut adalah fungsi dan keunikan dari Rumah Adat Sulawesi Tenggara Banua Tada:
1. Kamali / Malige: Ini adalah rumah adat khusus yang digunakan sebagai tempat tinggal para raja dan tokoh suku.
2. Banua Tada Tare Pata Pale: Ini adalah rumah yang dihuni oleh pejabat pemerintahan pada masa itu.
3. Banua Tada Tare Talu Pale: Ini adalah rumah khas yang dihuni oleh rakyat biasa. Rumah ini tergolong paling kecil dibandingkan dengan rumah lainnya.
Penghuni Rumah Adat Banua Tada
Rumah adat Banua Tada banyak dihuni oleh suku Wolio, suku etnis asli Sulawesi. Saat ini, populasi suku ini hanya berjumlah sekitar 30.000 jiwa, termasuk mereka yang bermukim sebagai pendatang.
Mayoritas suku Wolio beragama Islam, namun ada juga yang beragama Kristen dan Katolik.
Selama bulan Ramadhan, suku ini sering melakukan tradisi yang disebut Qunua, yaitu melaksanakan sholat tarawih pada pukul 24.00 yang diakhiri dengan qunut dan sahur bersama.
Ada juga tradisi lain yang masih dilestarikan hingga sekarang, yaitu Tuturiangana Andaala. Tradisi ini melibatkan penyajian sesajen yang dilayangkan ke laut sebagai bentuk syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tradisi ini harus dilakukan oleh kaum laki-laki dan dilaksanakan sekali setahun. Dalam hal mata pencaharian, suku Wolio kebanyakan bekerja sebagai nelayan.
Namun, tidak sedikit pula yang menjadi petani, dengan fokus pada penanaman padi dan berkebun sayur-sayuran serta buah-buahan.
Bharugano Wuna
Bharugano Wuna merupakan nama rumah adat dari Suku Muna di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara.
Rumah adat ini memiliki desain arsitektur yang unik dan dibangun dengan memanfaatkan bahan-bahan alami seperti kayu dan batu yang tersedia di sekitarnya.
Konstruksi rumah ini didasarkan pada prinsip-prinsip tradisional yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Salah satu karakteristik khas dari Bharugano Wuna adalah atapnya yang menjulang tinggi dengan ujung-ujung yang melengkung ke atas, terinspirasi dari bentuk perahu tradisional.
Atap yang melengkung ini berfungsi untuk mengalirkan air hujan agar tidak menumpuk di atas atap, sekaligus memberikan keindahan tersendiri pada rumah adat ini.
Bharugano Wuna bukan hanya menjadi tempat tinggal bagi suku Muna, tetapi juga menjadi pusat berbagai kegiatan sosial dan budaya.
Rumah adat ini sering digunakan untuk upacara adat, pertemuan masyarakat, dan acara-acara penting lainnya.
Dalam upaya meletarikannya, pemerintah menggunakan desain rumah adat suku Muna untuk bangunan Museum Bharugano.