Budaya Papua mempunyai banyak keunikan yang tak hanya terletak pada baju adatnya. Rumah adat asli Papua juga punya keunikan tersendiri.Sesuai dengan ciri khasnya, Papua bahan rumah adatnya didominasi oleh bahan-bahan alami sehingga dapat dipastikan ramah lingkungan.
Namun, rumah adat Papua ternyata bukan hanya rumah Honai yang sering kita lihat saja. Masih ada beberapa jenis rumah tradisional Papua lainnya yang perlu Kamu pelajari.
Apa saja itu? Yuk simak penjelasannya selengkapnya tentang rumah tradisional Papua dalam artikel berikut ini.
Nama Rumah Adat Papua dan Gambarnya
Rumah Honai
Rumah Honai adalah rumah adat khas pegunungan Papua yang sudah terkenal di seluruh Indonesia. Desain bangunan rumah ini berbentuk melingkar dan berdinding kayu, dengan atap kerucut yang terbuat dari daun sagu, jerami, atau ilalang.
Jika ditinjau dari segi bahasa, nama rumah ini terdiri dari dua kata. Hun yang artinya laki-laki dewasa serta Ai yang artinya adalah rumah. Jadi rumah Honai adalah rumah yang diperuntukkan untuk laki-laki dewasa.
Dengan kata lain, sebenarnya rumah Honai ini khusus untuk para laki-laki saja. Rumah Honai banyak ditemukan di lembah dan pegunungan tengah Papua, dan masih dihuni oleh suku-suku asli seperti Suku Dani.
Rumah ini memiliki tinggi sekitar 2,5 meter dan luas sekitar 5 meter, sehingga sangat sempit dan sederhana. Desain rumahnya memang hanya memiliki satu pintu dan tidak ada jendela.
Rumah Honai dibuat pendek dan sempit agar dapat menghangatkan penghuninya di daerah yang berhawa dingin. Di tengah-tengah rumah, ada tempat untuk membuat api unggun.
Rumah ini juga tidak memiliki kursi atau sofa, melainkan hanya alas rumput atau jerami. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan keakraban dan kebersamaan.
Rumah Ebei
Rumah Ebei adalah salah satu jenis rumah adat Papua yang berbentuk seperti rumah Honai. Namun, rumah ini khusus ditempati oleh perempuan dewasa dan anak laki-laki yang masih kecil.
Anak laki-laki yang sudah besar harus pindah ke rumah Honai, tempat tinggal laki-laki Papua. Nama Ebei berasal dari kata Ebe dan Ai, yang berarti tubuh dan perempuan.
Rumah Ebei melambangkan tubuh perempuan yang menjadi sumber kehidupan bagi manusia. Di rumah ini, perempuan Papua mendapatkan pendidikan dan pelatihan untuk menjadi istri dan ibu yang baik.
Mereka juga melakukan berbagai kegiatan seperti membuat kerajinan, memasak, menjahit, dan lain-lain.
Rumah Hunila
Rumah tradisional Suku Dani lainnya adalah Rumah Hunila. Bangunan rumahnya memiliki bentuk panjang dan lebih luas dari rumah adat yang lain. Rumah adat ini banyak digunakan untuk menyimpan berbagai peralatan masak dan bahan makanan.
Biasanya, rumah Hunila menjadi dapur bersama antara beberapa rumah Honai dan Ebei, untuk membuat makanan seluruh rumah.
Bahan makanan yang sering mereka masak yaitu sagu dan ubi. Setelah matang, mereka akan membawanya kepada keluarga masing-masing dan Pilamo (laki-laki dewasa).
Rumah Wamai
Rumah Wamai adalah salah satu jenis rumah adat Papua yang dibangun oleh suku Dani. Suku ini memiliki berbagai macam rumah adat yang mencerminkan kehidupan mereka yang teratur.
Suku Dani membedakan rumah adat berdasarkan fungsi dan penghuninya. Selain rumah Honai untuk laki-laki, rumah Ebei untuk perempuan, dan Hunila untuk dapur, mereka juga memiliki rumah Wamai untuk kandang hewan.
Hewan-hewan seperti ayam, kambing, babi, dan anjing diternakkan di dalam rumah ini. Rumah Wamai memiliki kemiripan dengan rumah Honai dari segi bentuk.
Namun, rumah ini tidak selalu berdinding melingkar. Ada juga yang berdinding persegi atau persegi panjang. Ukuran rumah ini juga bervariasi, tergantung pada jumlah hewan yang akan ditampung.
Rumah Kariwari
Rumah Kariwari adalah rumah adat Papua yang ditempati oleh suku Tobati-Enggros. Biasanya banyak ada di dekat Teluk Yotefa dan Danau Sentani, Jayapura.
Karena lokasinya yang dekat dengan garis pantai tersebut, rumah adat Papua ini dibangun tegak lurus dengan ombak laut.
Selain itu, teknis pembuatan rumah Kariwari dibangun dengan pola linier sejajar yang susunannya terdiri dari dua baris rumah berhadapan dan berjejer di sepanjang pantai.
Untuk alasan keamanan dan keakraban hubungan keluarga, jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya diatur tidak terlalu jauh.
Desain bangunan rumah tradisional Papua ini memiliki atap segi delapan bertingkat tiga, yang dirancang untuk melindungi penghuninya dari cuaca dingin dan angin kencang.
Lantai pertama rumah Kariwari digunakan sebagai tempat pelatihan bagi remaja laki-laki, membantu mereka menjadi pria dewasa yang bertanggung jawab, terampil, dan kuat.
Lantai kedua digunakan sebagai tempat pertemuan para kepala adat untuk membahas masalah penting. Dan lantai ketiga rumah Kariwari khusus digunakan sebagai tempat sembahyang kepada Tuhan dan leluhur.
Bentuk atap rumah ini melambangkan kedekatan dengan sang pencipta dan leluhur, menjadikan rumah Kariwari sebagai tempat pendidikan dan ibadah.
Material rumah adat Kariwari dibangun dari kayu besi, daun sagu, bambu, dan berbagai jenis pohon lainnya, mencerminkan kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Rumah Rumsram
Rumah Rumsram adalah rumah adat suku Biak Numfor yang tinggal di pesisir utara Papua. Desain bangunan rumahnya memiliki atap yang menyerupai perahu terbalik, karena suku ini mayoritas berprofesi sebagai pelaut.
Rumah ini bukan tempat tinggal, melainkan tempat mendidik anak laki-laki yang sudah cukup umur. Anak laki-laki berusia enam sampai delapan tahun akan masuk ke rumah Rumsram untuk mendapatkan pendidikan khusus.
Pendidikan ini bertujuan untuk membentuk anak laki-laki menjadi dewasa yang bertanggung jawab, mandiri, kuat, dan siap menjadi kepala keluarga.
Mereka akan belajar berbagai keterampilan seperti membuat perahu, perisai, berperang, memahat, dan sebagainya. Wanita tidak boleh masuk ke rumah ini.
Secara konstruksi bangunan, rumah ini memiliki tinggi enam sampai delapan meter dan terdiri dari dua lantai. Lantai pertama adalah tempat pendidikan Rumsram untuk laki-laki.
Lantai ini terbuka dan tanpa dinding, sehingga mereka bisa belajar dengan leluasa. Rumah ini dibangun dari bahan-bahan alami seperti bambu air, pelepah sagu, kulit kayu, dan daun sagu kering. Atap yang berbentuk perahu terbalik ini terbuat dari daun sagu kering.
Rumah Kaki Seribu
Mendengar kata kaki seribu tentu kita akan langsung mengasosiakannya dengan hewan kecil dengan kakinya yang banyak itu bukan?
Siapa sangka, Kaki Seribu adalah nama salah satu rumah adat Papua yang dimiliki suku Arfak yang banyak tinggal di kabupaten Manokwari.
Seperti Namanya, rumah adat satu ini memiliki tiang penyangga di bawah rumah degan jumlah yang sangat banyak.
Rumah Kaki Seribu dibangun sekitar 1-1,5 meter di atas permukaan tanah dengan luas rumah sekitar 8×6 meter. Karena bangunannya yang cukup tinggi, penghuninya akan merasa aman dari serangan hewan buas.
Selain itu, rumah ini sengaja tidak diberi jendela agar terhindar dari cuaca dingin. Selain Kaki Seribu, rumah panggung satu ini juga memiliki nama lain, yakni Mod Aki Aksa (Igkojei).
Rumah Jew
Bentuk rumah panggung ini tak hanya dimiliki oleh rumah Kaki seribu saja, tapi, juga dimiliki oleh rumah Jew yang ditinggali oleh suku Asmat.
Sebagai suku yang dikenal memiliki banyak anggota, rumah Jew dibangun memanjang sekitar 10-15 meter agar dapat menampung banyak anggota keluarga.
Uniknya, rumah ini tidak menggunakan paku sama sekali. Kayu-kayu penyangganya diikat menggunakan akar-akar rotan yang terkenal kekuatannya.
Rumah ini juga banyak dikenal sebagai rumah bujang, karna menurut aturan adat setempat, hanya laki-laki yang belum menikah yang diizinkan tinggal di rumah ini.
Sedangkan anak laki-laki berusia di bawah 10 tahun dan perempuan tidak diperbolehkan masuk kedalamnya.
Di rumah inilah para laki-laki yang sudah beranjak dewasa ini akan ditempa dan dididik oleh pemuda yang lebih tua atau yang sudah menikah untuk belajar keterampilan yang wajib dimiliki oleh laki-laki.
Di rumah adat inilah mereka diajarkan bagaiman caranya mengembangkan keterampilan, mengolah sumber daya, dan juga Pendidikan kebudayaan suku Asmat (memukul tifa, menari, dan menyanyi).
Bisa dibilang, rumah adat Papua satu ini adalah simbol kepemimpinan seorang laki-laki. Karena di rumah ini juga digunakan sebagai tempat bermusyawarah, mulai dari menyelesaikan konflik internal, merencanakan pesta adat, mengatur strategi perang, dan juga penyelenggaraan upacara adat.
Rumah Pohon Papua
Tahukah kamu, salah satu suku pedalaman Papua tinggal di atas pohon dengan ketinggian 15-50 meter di atas permukaan tanah?
Suku unik tersebut adalah suku Korowai. Mereka membangun rumah mereka di atas pohon dengan menggunakan kayu dan juga daun sagu.
Hal itu harus mereka lakukan sebagai upaya melindungi diri karena mereka tinggal di lingkungan hutan belantara ditemani oleh binatang buas.
Selain itu, menurut kepercayaan suku Korowai, tinggal di atas pohon tinggi juga akan melindungi mereka dari serangan makhluk ghaib bernama Laleo. Makhluk ghaib jahat yang diyakini berbentuk mayat hidup yang berkeliaran di malam hari.
Untuk sampai ke dalam rumah mereka, suku Korowai tentu harus memanjat pohon yang tingginya lebih dari 10 meter itu.
Saat ini, keunikan rumah pohon sebagai salah satu rumah adat Papua ini sedang diusahakan masuk ke dalam daftar kebudayaan UNESCO.