Rumah Tongkonan merupakan rumah adat tradisional dari Suku Toraja di Sulawesi Selatan, yang terkenal karena arsitekturnya yang khas, dengan atap melengkung seperti perahu.
Bagi masyarakat Toraja, Tongkonan memiliki makna dan nilai luhur, sehingga digunakan sebagai tempat pelaksanaan berbagai kegiatan dan upacara adat.
Rumah adat ini tidak hanya menjadi identitas dan kebanggaan masyarakat Toraja, tetapi juga menarik perhatian sebagai objek wisata dan pusat budaya.
Keunikan arsitektur serta fungsi Tongkonan menjadikannya salah satu daya tarik utama di Toraja.
Jika Anda penasaran dengan detailnya, berikut penjelasan lengkap mengenai rumah adat Tongkonan, mulai dari sejarah perkembangannya hingga keunikan arsitekturnya. Mari kita simak bersama!
Sejarah Rumah Tongkonan Toraja
Kemunculan rumah adat Sulawesi Selatan ini bermula dari perahu, yang dulunya digunakan oleh masyarakat Toraja sebagai alat transportasi sebelum menetap di wilayah mereka saat ini.
Bentuk rumah yang menyerupai perahu ini kemudian berkembang, baik dari segi fungsi maupun arsitektur, seiring dengan perubahan aturan-aturan adat.
Asal muasal penamaan tongkonan berasal dari bahasa Suku Toraja “tongkon” yang artinya adalah menempati atau tempat duduk. Tongkonan fungsinya adalah sebagai hunian penguasa adat sekaligus tempat berkumpul.
Rumah adat ini dibentuk berdasarkan hubungan kekerabatan, sehingga tidak dimiliki secara individu, melainkan diwariskan secara turun-temurun dalam keluarga atau marga tertentu.
Contohnya, sepasang suami istri akan membangun rumah untuk anak cucu mereka, yang kemudian menjadi Tongkonan bagi seluruh garis keturunan mereka.
Tongkonan juga merupakan pusat kepemimpinan dalam bidang kemasyarakatan dan keagamaan.
Pemimpin Tongkonan, yang disebut pemangku atau penanggung jawab aluk/pamali, bertugas sebagai pengawal tata kehidupan.
Oleh karena itu, pemimpin Tongkonan wajib memastikan bahwa ketentuan aluk todolo dan adat tetap dijalankan.
Fungsi Rumah Adat Tongkonan
Saat ini, rumah adat Tongkonan tak lagi hanya difungsikan untuk tempat tinggal, karena sebagian besar penduduk yang menghuni rumah ini juga membangun rumah tinggal mereka sendiri.
Awalnya, rumah adat Tongkonan sering digunakan sebagai pusat budaya bagi masyarakat Toraja. Rumah adat Tongkonan juga berfungsi sebagai tempat upacara religi bagi keluarga yang menghuni rumah tersebut.
Selain itu, rumah tongkonan juga berfungsi sebagai rumah tradisional atau banuan dan bahkan menjadi lumbung padi.
Dengan nilai filosofis yang mendalam, rumah tongkonan menggambarkan beragam aspek kehidupan masyarakat Toraja.
Oleh sebab itu, masyarakat adat Suku Toraja sangat mensakralkan rumah Tongkonan sampai sekarang. Setiap ruang di dalam Rumah Adat Tongkonan memiliki fungsi yang berbeda-beda.
Jenis-jenis Rumah Adat Tongkonan Toraja
Tahukah Kamu bahwa rumah adat Tongkonan memiliki beberapa jenis yang berbeda?
Jenis-jenis rumah ini dibedakan berdasarkan peran dan status pemimpin suku serta berdasarkan jumlah ruangannya. Berikut ini adalah jenis-jenis rumah adat Tongkonan!
Tongkonan Layuk (Pesio’ Aluk)
Dulunya merupakan tempat tinggal kepala desa sekaligus pusat pemerintahan adat di Tana Toraja. Selain sebagai hunian, tongkonan jenis ini juga dipakai untuk tempat rapat serta penyusunan aturan adat.
Rumah Tongkonan Layuk mudah dikenali melalui ornamen kepala kerbau (kabango’) dan simbol kepala ayam (katik), serta tiang pusat yang disebut a’riri posi’ yang menjadi ciri khasnya.
Tongkonan Pekamberan (Pekaindoran)
Tongkonan Pekamberan adalah bangunan yang didirikan untuk setiap penguasa daerah, dan berfungsi sebagai pusat pemerintahan adat yang dijalankan sesuai dengan aturan dari Tongkonan Layuk.
Salah satu ciri khas dari tongkonan jenis ini yaitu penggunaan a’riri posi’ atau tiang pusat.
Selain itu, hiasan yang menghiasi Tongkonan Pekamberan biasanya berupa kepala kerbau dan simbol kepala ayam, yang memiliki makna dan simbolik tersendiri.
Tongkonan Batu A’riri
Batu A’riri merupakan salah satu jenis rumah tongkonan dalam Suku Toraja yang fungsinya sebagai lambang persatuan dan wasilah keluarga. Tongkonan ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu untuk golongan bangsawan (tomakaka) dan orang biasa (kaunan).
Pada Tongkonan untuk golongan tomakaka, dinding bangunan diizinkan dihiasi dengan ukiran. Sementara itu, Tongkonan untuk golongan kaunan tidak diperbolehkan menggunakan ukiran pada dindingnya.
Banua Sang Lanta atau Sang Borong
Selanjutnya adalah jenis rumah tongkonan berdasarkan jumlah ruangnya. Yang pertama bernama Banua Sang Lanta atau Sangborong.
Rumah ini punya keunikan karena cuma punya satu ruangan saja tanpa sekat. Tempat ini sering dipakai untuk beragam aktivitas yang melibatkan banyak orang.
Karena bentuknya yang tanpa sekat, semua kegiatan dilakukan dalam satu ruangan tersebut. Bangunan seperti ini biasanya dibangun untuk para utusan seorang penguasa adat.
Banua Duang Lanta
Selanjutnya ada banua duang lanta, rumah tradisional yang umumnya dipakai hanya untuk tempat tinggal keluarga serta tak punya peranan adat khusus.
Duang lanta artinya adalah punya dua ruang di dalamnya yakni sali dan sumbung. Sumbung, yang terletak di bagian selatan rumah, berfungsi sebagai tempat beristirahat.
Sali biasanya berada di bagian utara rumah dan posisinya lebih rendah sekitar 30-40 cm dari sumbung. Ruang sali lebih luas dan panjang, karena digunakan sebagai tempat memasak dan juga sebagai tempat menyimpan jenazah sebelum diupacarakan.
Walaupun nggak punya fungsi adat secara khusus, Banua Duang Lanta juga berfungsi sebagai Tongkonan Batu A’riri, atau sebutan lainnya Banua Pa’rapuan.
Rumah ini adalah rumah persatuan bagi keluarga dari golongan rendah, yang disebut kasta Tana’ Kua-Kua atau Tana’ Karurung.
Banua Tallung Lanta
Di dalam rumah tongkonan tallung lanta terdapat tiga ruangan yang terdiri dari tangdo, sumbung dan sali. Tangdo, yang terletak di bagian utara rumah dan berfungsi sebagai kamar tidur bagi wanita yang belum menikah.
Bagian kedua adalah Sali, yang merupakan ruang tamu utama keluarga. Ruangan ini sering dilengkapi dengan perapian yang berada di sisi timur.
Di dalamnya ada benda berbentuk kotak kayu persegi panjang, yang namanya ‘dapo,’. Dapo ini digunakan untuk tempat memasak sekaligus menjadi tempat perapian, melihat daerah Toraja cuacanya cenderung dingin.
Dapo letaknya ada di sebelah timur rumah karena makanan erat kaitannya dengan berbagai ritual. Ruang sali juga digunakan untuk kamar bagi pria bujang yang belum menikah di keluarga tersebut.
Sementara sumbung letaknya ada di sebelah selatan rumah tongkonan. Di kamar yang bernama sumbung inilah, kepala rumah tangga bersama istrinya tidur.
Selain itu, ruang ini juga digunakan untuk menyimpan barang-barang berharga dalam keranjang atau batang besar yang disebut ‘batutu’.
Banua Patang Lanta
Banua patang lanta merupakan jenis tongkonan yang punya ruangan paling banyak. Secara keseluruhan, total jumlah ruangannya ada empat bagian yang terdiri dari inan kabusungan, sumbung, sali tangga dan terakhir sali iring. Masing-masing ruang punya fungsinya tersendiri.
Pertama, Inan Kabusungan, yang letaknya ada di sebelah selatan rumah dan berfungsi tempat penyimpanan pusaka dan peralatan adat.
Ruangan ini biasanya cuma dibuka saat ingin mengambil benda pusaka, dan pembukaannya harus disertai dengan kurban berupa sajian babi atau ayam. Kedua, Sumbung, juga dipakai untuk tempat istirahat tuan rumah.
Ruang ketiga adalah Sali Tangga, yang ukurannya lebih panjang dibandingkan ruang lainnya, karena berfungsi sebagai tempat berkegiatan bagi anggota keluarga.
Ruangan yang bernama sali iring merupakan kamar paling rendah dan biasanya difungsikan sebagai kamar tamu atau kamar para ART.
Keunikan Rumah Adat Tongkonan dan Filosofinya
Dalam berkehidupan, masyarakat adat Suku Toraja berlandaskan pada ajaran Aluk Todolo.
Rumah adat ini memiliki makna yang mendalam dalam setiap proses kehidupan mereka. Tongkonan tidak hanya menjadi simbol keluarga, tetapi juga mencerminkan martabat orang Toraja.
Menggadaikan, apalagi menjual Tongkonan, dianggap sama dengan menggadaikan atau menjual martabat keluarga dan nenek moyang. Hal ini akan membawa rasa malu bagi seluruh anggota keluarga Tongkonan.
Berikut ini beberapa keunikan yang ada pada rumah adat Toraja beserta makna filosofinya.
Bangunannya Seperti Pohon Pipit
Sebelum berbentuk sekarang, rumah adat suku Toraja pada awalnya bentuknya tampak mirip seperti pohon pipit.
Keunikan rumah adat ini terletak pada bangunannya yang didirikan di atas pohon, dengan dahan besar sebagai penopangnya.
Proses pembangunannya menggunakan ranting-ranting pohon yang disusun kemudian ditaruh rumput kering sehingga menyerupai sarang burung pipit.
Atapnya Seperti Bentuk Perahu
Atap Rumah Adat Tongkonan memiliki bentuk yang unik menyerupai perahu dengan kedua ujungnya melengkung seperti busur.
Menurut legenda masyarakat Toraja, nenek moyang mereka berasal dari utara dan tiba di daerah tersebut melalui laut.
Dalam perjalanan, mereka mengalami badai besar yang merusak perahu mereka hingga tak lagi bisa digunakan untuk berlayar.
Sebagai simbol penghormatan terhadap sejarah dan asal-usul mereka, bentuk perahu tersebut diadaptasi menjadi atap Rumah Adat Tongkonan, yang selalu menghadap ke arah utara.
Terdapat Hiasan Patung Kepala Kerbau
Salah satu ciri khas yang menonjol dari Rumah Adat Tongkonan adalah patung kepala kerbau yang dipasang di bagian atas rumah.
Patung kepala kerbau ini hadir dalam tiga jenis, yaitu kerbau hitam, kerbau putih, dan kerbau belang.
Selain patung kepala kerbau, Rumah Adat Tongkonan juga sering dihiasi dengan patung tambahan seperti patung naga atau patung kepala ayam.
Kehadiran patung-patung ini melambangkan bahwa pemilik rumah tersebut adalah orang yang dihormati dan dituakan dalam komunitasnya.
Tanduk Kerbau di Depan Rumah
Tanduk kerbau yang dipasang di bagian depan Rumah Adat Tongkonan, tepat di bawah atap yang menjulang tinggi, memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Toraja.
Jumlah tanduk tersebut mencerminkan jumlah pemakaman yang telah diselenggarakan oleh keluarga pemilik tongkonan, sekaligus menjadi simbol status sosial mereka.
Semakin banyak tanduk kerbau yang terpasang, semakin tinggi pula derajat dan penghormatan yang dimiliki keluarga tersebut di mata masyarakat.
Berbagai Macam Ornamen Unik
Rumah Adat Tongkonan dikenal dengan berbagai ornamen yang khas dan menarik. Merah dan hitam menjadi warna yang paling dominan dalam ornamen-ornamen rumah adat Toraja.
Pada dinding dan atap pelana rumah ini, terdapat motif-motif seperti spiral, bentuk geometris, serta gambar kepala kerbau dan ayam jantan yang dihiasi dengan warna putih, merah, kuning, dan hitam.
Setiap warnanya mengandung makna tersendiri serta erat kaitannya dengan upacara Aluk To Dolo (Jalan Leluhur), yang merupakan kepercayaan asli masyarakat adat Toraja.
Hitam melambangkan kegelapan dan kematian, kuning mewakili berkat dan kuasa Tuhan, putih mencerminkan kemurnian, sedangkan merah yang menyerupai warna daging melambangkan darah dan kehidupan manusia.
Empat Warna Dasar
Rumah Adat Tongkonan memiliki ciri khas empat warna dasar yang masing-masing mengandung makna tersendiri. Warna merah melambangkan darah yang menjadi simbol kehidupan manusia.
Warna kuning menggambarkan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, warna hitam melambangkan kematian, sedangkan warna putih mewakili warna tulang yang bermakna kesucian atau kebersihan.
Setiap warna ini mencerminkan filosofi hidup masyarakat yang menghuni Rumah Adat Tongkonan.
Konstruksi Tanpa Paku
Material yang digunakan dalam pembangunan rumah adat Toraja cuma memanfaatkan bahan dari alam dan dibangun di atas tiang-tiang yang kokoh. Atapnya terbuat dari lapisan bambu, sementara struktur kayunya dirakit tanpa menggunakan paku sama sekali.
Proses konstruksi ini memanfaatkan bahan-bahan alami seperti daun kelapa, rotan, serta berbagai jenis kayu seperti kayu ulin dan jati.
Uniknya, metode konstruksi tradisional ini diterapkan secara konsisten di seluruh wilayah, menjadikan Rumah Adat Tongkonan memiliki ciri khas yang serupa di setiap daerah.
Makna Ukiran
Dinding rumah adat Tongkonan dihiasi dengan beragam ukiran yang sarat makna. Setiap motif ukiran memiliki arti mendalam dan mencerminkan falsafah hidup masyarakat Toraja. Beberapa makna ukiran tersebut diantaranya yaitu:
Pa’tedong
Ukiran ini berasal dari kata “tedong,” yang berarti kerbau. Ukiran Pa’tedong menggambarkan wajah seekor kerbau dan melambangkan kesejahteraan untuk masyarakat Suku Toraja.
Pa’barre Allo
Pa’barre Allo adalah sebuah ukiran yang memiliki makna mendalam. Dalam bahasa lokal, “barre” berarti terbit atau bulat, sedangkan “allo” berarti matahari.
Ukiran ini melambangkan bahwa segala sumber kehidupan dan segala sesuatu yang ada di dunia ini berasal dari Puang Matua, yang dipandang sebagai pencipta dan sumber kehidupan tertinggi.
Pa’manuk Londong
Kata “manuk” berarti ayam, sementara “londong” merujuk pada ayam jantan. Ukiran ini melambangkan sosok pemimpin yang bijaksana, dapat dipercaya, memiliki intuisi yang tajam, serta selalu berkata jujur dan benar.
Pa’kapu’ Baka
Adalah ukiran yang berbentuk seperti simpulan tali, sering digunakan sebagai simbol tempat penyimpanan harta. Motif ini melambangkan kekayaan dan status kebangsawanan.
Selain itu, ukiran ini juga dipercaya mencerminkan kemampuan pemilik rumah dalam memimpin yang sulit ditiru oleh orang lain, serta kecerdasan dalam menjaga rahasia keluarga.
Pa’ Ulu Karua
Ukiran ini melambangkan kemakmuran dan status kebangsawanan. Selain itu, motif ukiran ini juga dipercaya menggambarkan bahwa pemilik rumah memiliki kemampuan kepemimpinan yang sulit ditandingi, serta bijak dalam menjaga rahasia keluarga.
Pa’ Ulu Gayang
Motif ini mempunyai makna kepala keris emas dengan bentuknya yang menyerupai kepala atau gagang keris.
Motif Pa’ Ulu Gayang melambangkan seorang laki-laki bangsawan yang kaya, namun tetap memiliki sikap mulia dan bijaksana.
Pa’ Bombo Uai
Bentuk ukiran ini mirip seperti anggang-anggang, sejenis binatang air. Pa’ Bombo Uai menggambarkan bahwa setiap manusia harus memiliki kemampuan dan keterampilan dalam menjalankan tugasnya dengan baik.
Ne’ Limbongan
Dalam kepercayaan Suku Toraja, limbongan merupakan sumber mata air yang dipercaya sebagai simbol kehidupan. Ukiran ini menggambarkan aliran air yang berputar, dengan panah menunjuk ke empat arah mata angin.
Motif Ne’ Limbongan melambangkan rezeki yang datang dari segala penjuru, yang kemudian bersatu di danau sebagai sumber kebahagiaan.
Pa’ara’ Dena’ I
Motif ini berbentuk bulu burung pipit, yang dalam pandangan masyarakat Toraja dianggap sebagai hama perusak tanaman padi.
Pa’ara’ Dena’ I mengandung pesan bahwa manusia harus selalu waspada dan bijaksana dalam menghadapi ancaman.
Pa’kangkung
Seperti dengan nama motifnya, bentuk motif ini menyerupai seperti pucuk daun kangkung. Ukiran ini mengandung makna bahwa setiap manusia diharapkan bisa memberikan manfaat, baik untuk dirinya sendiri maupun orang-orang di sekitarnya.
Sebagai simbol kebesaran dan identitas budaya masyarakat Toraja, Rumah Adat Tongkonan di Sulawesi Selatan tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai pusat kehidupan sosial dan spiritual.
Keunikan arsitektur, makna filosofis, dan nilai-nilai tradisi yang terkandung di dalamnya menjadikan Tongkonan sebagai warisan budaya yang patut dilestarikan.
Dalam setiap detailnya, Tongkonan mencerminkan kekayaan warisan leluhur yang terus hidup dan berkembang di tengah arus modernitas, mengingatkan kita akan pentingnya menjaga dan menghormati tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.